Ketika kita giat berlatih ilmu beladiri, merangkak dari sabuk putih (Pemula) ke sabuk hitam (Dan I, dst), latihan bukan hanya pada ketangkasan fisik untuk menangkis dan menyerang. Latihan juga otomatis akan menguji mental. Bukan sekedar harus berani melawan siapa saja, tetapi juga harus mempertimbangkan beberapa hal prinsip. Pertama, bertarung dalam rangka membela kebenaran. Kedua, bertarung adalah langkah terakhir manakala ucapan tidak mempan. Ketiga, bertarung manakala ada nyawa yang terancam.
Namun godaan mental yang sering menyusup melalui hawa nafsu adalah keinginan untuk bertanding dengan siapa saja. Niat pertama hanya untuk membuktikan jurus yang dipelajari. Niat yang liar adalah berseminya benih-benih kesombongan, bahwa dirinyalah yang paling layak disebut pendekar tanpa tanding.
Ketika terbiasa memandang perilaku orang, dilanjutkan dengan merenungkan mengapa, apa dan bagaimana selanjutnya perilaku itu, maka diri ini akan terasah dengan ilmu kahuripan berupa ilmu titen. Yaitu ilmu yang mampu membaca tanda-tanda tersirat untuk mengungkap karakter orang. Keinginan melatih, kadang diartikan sebagai membaca karakter orang sebanyak-banyaknya. Sampai di sini mungkin tidak salah. Tetapi ketika hasil bacaan itu dipublikasikan, baik kepada obyek yang kita baca, atau woro-woro ke khalayak rame; saat itu pula hasil penilaian bisa menjadi antiklimaks. Kita akan mudah dituduh sok iseng, sok usil, dan bahkan tidak tahu diri. Kenapa, pewatakan orang yang bernuansa negatif jamak dimengerti sebagai aib. Sehingga kita dianggap telah membuka aib orang. Celakanya, beberapa orang yang terbaca itu kadang melakukan perlawanan dengan mengirim serangan balasan. Bisa jadi kitalah yang gantian akan diserang rame-rame oleh mereka yang pernah jadi obyek bacaan karakter tadi.
Ketika punya kemampuan mengobati dengan dalil keikhlasan bin ketulusan, maka diri kita akan terpancing untuk menolong siapa saja tanpa pamrih. Bahkan kita serta merta tergerak untuk menolong siapa saja, dengan atau tanpa diminta. Kesannya memang baik, tetapi terkadang pertolongan tidak diharapkan oleh si pasien. Bisa jadi si pasien tidak percaya pada pertolongan kita, sehingga pertolongan akan diartikan sebagai 'ada maksud lain'. Ketidaksembuhan hanya akan meninggalkan kesana bahwa kita dianggap sebagai orang yang sok pintar. Ngakunya bisa ngobati, kok gak sembuh. Pasien terlalu menyamakan istilah mengobati dengan menyembuhkan. Padahal tidak semua pengobatan dapat menyembuhkan. Finalnya kesembuhan jelas membutuhkan ijinNYA.
Tiga fenomena di atas patut menjadi pelajaran berharga bagi kita, bahwa pertolongan dan pemanfaatan ilmu yang kita miliki perlu disalurkan dengan cara-cara yang bijak dan tidak menimbulkan dampak yang negatif. Ada baiknya kita menahan diri, untuk memperdalam ilmu, untuk menuju titik ikhlas bagi kedua belah pihak, dan untuk mengusir benih kesombongan yang mungkin tumbuh dalam hati kita.
Orang yang pandai beladiri, biasanya malah suka menyembunyikan kelebihannya ini.
Orang yang bisa membaca karakter orang, sebaiknya menggunakan pada situasi dan kondisi yang tepat.
Orang yang pandai mengobati, biasanya selalu mengaku sebagai orang bodoh yang tidak punya kemampuan apa-apa.
Selasa, 09 November 2010
MENAHAN DIRI
Posted by Prihantoenoe Hutoemoe on 18.24
0 komentar:
Posting Komentar