Sabtu, 22 Januari 2011

Pejuang Bukan Penguasa, Penguasa Bukan Pejuang

Sebuah fenomena, mungkin bukan kesimpulan, namun dapat merupakan kebanyakan yang terjadi. Sejarah mengatakan bahwa kebanyakan pejuang berujung pada makam pahlawan, itupun kalo perjuangannya terdaftar, diakui, atau disamakan (baca: terekam dan diberi penghargaan). Banyak pula pejuang dimana saat "tangan kanan" berbuat kebaikan, maka "tangan kiri" tidak diberitahu. Mengapa? karena perjuangan adalah tujuan, bukan alat mencapai tujuan lain, seperti : kekuasaan !

Sebaliknya, banyak para penguasa yang menempuh jalan sebagai 'pejuang gadungan'. Seakan membela atas nama kebenaran, atas nama rakyat, atas nama orang banyak, dll. Yang benar "atas nama"-nya doank, buntutnya : untuk diri sendiri, keluarga dan kelompok pendukungnya. Label 'perjuangan' hanyalah sebuah slogan yang ditumpahkan pada media massa, sebagai suatu jalur karpet merah bertuliskan "membangun citra". Sampai dalil demokrasi yang tidak pandang bulu siapa pemilihnya - entah pejabat atau penjahat, entah kyai atau peng-korupsi, entah ABG atau sang begawan - semua dinilai "one man one vote".

Jika kita memilih jalur sebagai pejuang, siap-siaplah, jika berhasil belum tentu dipuji, sangat mungkin ditelikung (kudeta) oleh pejuang gadungan tadi. Jika tidak berhasil, harus siap dicela dan disalahkan satu kompi.
Bahwasannya, kebanyakan orang memilih 'jalur aman' alias 'melu katuting angin' alias 'sing penting iso mukti'. Jadi mereka ini memilih slogan "diam itu aman, agak salah" dan "berbuat itu bisa salah", jadi menunggu saat tepat untuk jual tampang dan kehormatan demi sebuah prestise.

Sejarah membuktikan, para nabi dan rosul yang jelas-jelas jaminan syurga, tidak otomatis bersih dari musuh. Bahkan kadang penuh cobaan dengan taruhan waktu, tenaga, dan harta benda. Bahkan nyawa pun sering terancam.
Lha, kita-kita yang jelas jauh dari itu, jika berniat jadi pejuang, ya jangan kaget kalo ternyata banyak yang gak suka, banyak yang fitnah, banyak yang ngambil keuntungan dari jerih payah kita, dan bahkan saat kita jatuh tak satu pun yang tergerak membelanya.
Kata Simbah doeloe, "banyak teman saat gembira, tapi sangat jarang ada teman berbagi derita".

Memang idealnya Pejuang akan jadi Penguasa, sehingga ruh perjuangan tetap dilanjutkan. Tapi kebanyakan Penguasa lebih suka mengamankan posisinya. Jarang Penguasa yang mau berkorban dengan anak buahnya. Jarang pula pejuang sejati yang mengejar kekuasaan.

Akhirnya hanya ada 2 pilihan, jadi Pejuang atau Penguasa. Sangat jarang 2 pilihan itu ada pada 1 orang, walau tetap saja ada. dan berbahagialah suatu kaum yang pemimpinnya memenuhi 2 kriteria itu.

Mengistimewakan WAKTU

Sebutan waktu terdiri dari detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya. Banyak manusia mengolah waktu, karena semua manusia hidup seiring dengan waktu. Hasil olahan dapat beraneka. Ada waktu istimewa dan ada pula tidak istimewa. Semu tergantung kesepakatan belaka. Makin banyak yang sepakat, maka ke-sakral-an akan semakin tinggi. Berikut adalah contoh fenomena dimana banyak manusia mengistimewakan waktu untuk kepentingan diri maupun kelompok yang menyepakatinya.

Pertama, peristiwa besar dan berpengaruh terhadap jutaan manusia, sering diabadikan (baca: dicatat sampai dengan ukuran menit dan detik). Misalnya jatuhnya bom nuklir di suatu negara, pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan, dll. Bahkan waktu 'jadian' antara kedua sejoli juga tak luput dari pensakralan, yang kadang dikaitkan dengan bukti kesetiaan. Artinya, kalau lupa, dianggap tidak setia lagi. Ada juga waktu kelahiran anak tersayang, atau kelahiran orang yang sangat berpengaruh, sering dicatat sampai menit dan detik.

Kedua, hari bersejarah. Sebenarnya hari-hari itu ya sama saja. Penamaan kan kesepakatan manusia. Faktanya hari dimulai dari tengah malam sampai tengah malam lagi. Bahkan ada yang meyakini pergeseran hari dari sejak terbenamnya matahari sampai terbenam esok harinya. Contohnya : hari lahir, hari libur, dll. Demi memperingati hari lahir, seseorang akan rela melakukan pesta besar-besaran. Demi men-sakral-kan hari jumat kliwon, orang-orang jadi merasa seram dan takut dalam kegelapan dan kesunyian malam.

Ketiga, tanggal bersejarah. Apa sich istimewanya Tahun baru tanggal 1 Januari. Jelas sangat istimewa bagi mereka yang terbiasa memakai tahun masehi. Tetapi bagi tahun hijriyah, lain lagi tanggalnya. Tanggal 1 sura diyakini dan disepakati untuk membersihkan barang-barang pusaka. dan lain-lainnya.

Keempat, bulan istimewa. Bagi ummat muslim, bulan puasa (ramadhan) menjadi istimewa. Bagi mahasiswa Indonesia, bulan Juli-Agustus menjadi libur panjang. dll.

Kelima, tahun istimewa. Banyak tahun dianggap istimewa karena mengukir sejarah yang dirasakan banyak pihak, seperti tahun kemerdekaan, tahun terjadinya bencana besar, dll.

Sekali lagi, keistimewaan waktu lebih banyak terjadi karena kesepakatan sosial. Semakin sepakat dan semakin banyak, maka keramaian akan semakin meriah. Dan bagi sebagian kecil yang tidak bersepakat, akan seperti hidup dalam keterasingan.

Namun kita perlu hati-hati, karena kesepakatan sosial terhadap waktu istimewa, yang diyakini banyak orang belum tentu menuntun kita pada keyakinan kebenaran yang hakiki. Terkadang malah tanpa sadar menjerumuskan kita pada keimanan baru yang main menyimpang dari cahaya-NYA.

Kebiasaan DIRI

Ada kebiasaan umum, ada kebiasaan diri. Secara umum, ada aturan sosial yang tidak tertulis bahwa orang biasanya bangun jam 5-6, sarapan pagi, sehari makan 3x, makan sambil duduk, menyapa dengan mengucap salam dulu, dll. Ada juga kebiasaan diri, yang kadang bisa sama dengan kebiasaan umum, tetapi juga bisa jauh berbeda.

Ini bukan untuk membahas mana yang benar, apakah kebiasaan umum atau kebiasaan diri, karena tentu masing-masing ada argumennya.

Ketika masih anak-anak, kebiasaan diri dianggap masih 'wajar' karena ada orangtua di dekatnya, yang siap mem-back-up (membantu) apabila anaknya mempunyai kebiasaan yang berbeda dari umumnya.
Contoh, aturan umum sekolah masuk sekitar jam 7. jadi tidak mungkin si anak baru bangun tidur jam 7, karena dia perlu mandi, ganti baju, makan dan perjalanan ke sekolah. Paling tidak dia harus bangun jam 6.
Contoh, si anak tidak mencuci baju sendiri, apalagi menyetrika pakaian sendiri. Namun orangtua dengan welas asih mau mencucikan dan menyetrika baju anaknya. dll.

Ketika si anak beranjak dewasa, dimana dia mulai masuk ke lingkungan umum, akan berlaku pula kebiasaan umum. Tidak ada lagi orangtua disampingnya. Sehingga suka tidak suka, dia harus menyesuaikan dengan kebiasaan umum.
Semakin punya kebiasaan yang jauh berbeda dari umum, maka semakin terjadi kesenjangan (ketegangan - stress) antara dia dengan lingkungannya. Sehingga satu-satunya jalan menuju kesembuhan adalah penyesuaian dengan kebiasaan umum.

Ada perkecualian bagi mereka yang punya keyakinan tinggi dalam rangka mempertahankan kebiasaan diri. Selama itu diyakini dan dia bisa tetap tampil beda, tidak ada masalah. Namun dia akan selalu berhadapan dengan teguran atau komentar khalayak, yang kadang membutuhkan kesabaran dan senyum keikhlasan.

Hati-hati lho, setelah dewasa baru akan terasa, bahwa banyak hal kadang gagal karena kebiasaan kita yang tidak perlu, tetapi sudah mendarahdaging. Seperti kebiasaan bangun siang, kecanduan merokok, jarang mandi, malas tersenyum, membersihkan rumah, dll.

Semoga kita punya kebiasan benar dan dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat di sekitar kita.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger